“Berapa sih penghasilan yang bisa diharapkan oleh seorang trainer profesional di Indonesia?,” tanya seorang kawan dengan nada meremehkan profesi trainer. Ia bekerja sebagai pengusaha skala menengah dengan karyawan 100-an orang. Sebagai pemilik sebuah usaha dagang (trading company), ia sungguh tak paham siapa yang mau membayar jasa pelatihan yang ditawarkan para trainer. Baginya, trainer itu seperti pengajar sekolah atau dosen yang penghasilannya tidak menjanjikan untuk hidup secara memadai (menurut ukurannya, tentu). Saya menanggapi pertanyaannya dengan tersenyum. Belum tahu dia rupanya.
Dalam kesempatan lain, seorang pimpinan lembaga pengorganisasi pelatihan (training organizer) di Surabaya, berbisik pada saya, “Eh sudah tahu belum, trainer itu tahun lalu menambah kekayaannya sekitar Rp 7 M hanya dari kegiatan pelatihan saja. Rata-rata sebulan ia bicara di 15 pertemuan di berbagai kota besar dengan honor Rp 35 juta sekali bicara selama 3-4 jam.” Saya menanggapi bisikannya dengan senyuman. Sudah tahu dia rupanya.
Kawan lain, yang sudah fokus menafkahi keluarganya dari bisnis bicara (pelatihan) selama lima tahunan, suatu kali ditelepon mantan atasannya 7-8 tahun silam. Singkat cerita, sang mantan atasan di perusahaan lama yang sudah pindah ke perusahaan baru dan sekarang menjadi pimpinan tertinggi di perusahaan multinasional itu, memerlukan manajer senior untuk bidang teknologi dan informasi. Terkesan atas kinerja kawan saya yang menjadi stafnya di masa lalu, maka ia ingin kembali mempekerjakan kawan saya itu dengan posisi, gaji, dan fasilitas yang jauh lebih baik. Kawan saya merespons ajakan tersebut dengan berkata mantap, “Maaf ya pak. Bukan apa-apa. Tawaran gaji yang bapak sebutkan tadi adalah honor yang saya terima sekali bicara selama 2 jam di pertemuan-pertemuan perusahaan yang mengundang saya. Jadi pasti tidak menarik buat saya. Dan lagi saya sudah bosan pak mengikuti ritme kerja tak masuk akal, bangun pagi menerobos kemacetan, dan pulang malam dengan masalah yang sama juga bertahun-tahun. Sekarang saya bebas menentukan jam kerja dan penghasilan tidak kalah dengan manajemen puncak perusahaan terkemuka. Maaf lho pak, bukan sombong, cuma sharing saja.” Mantan atasannya langsung bengong dan terkagum-kagum. Mendengar cerita itu, saya menanggapinya dengan senyuman. Sudah paham dia rupanya.
Cerita yang saya pungut dari ketiga kawan di atas cukup mewakili apa yang terjadi dengan profesi trainer hari-hari ini (saat tulisan ini dibuat). Sebagian besar orang masih belum tahu bahwa trainer mulai berkembang menjadi profesi di tanah air. Berkembang dalam arti kehadirannya mulai dirasakan, meski belum cukup dipahami. Ia muncul dan menjadi subur bersamaan dengan derasnya arus pembelajaran berkelanjutan. Makin banyak perusahaan menyediakan anggaran khusus untuk proses pembelajaran pegawainya. Secara pribadipun makin banyak orang yang bersedia mengeluarkan uang dari kantong pribadinya untuk ikut seminar dan pelatihan pengembangan diri dan kompetensi.
Munculnya sejumlah nama kondang sebagai pembicara publik dan trainer di tingkat nasional telah mengangkat citra profesi yang dua dekade silam masih samar-samar terdengar. Sebut saja sejumlah nama besar seperti Hermawan Kartajaya, Handi Irawan, Gede Prama, Rhenald Kasali, Mario Teguh, RH Wiwoho, Jansen H. Sinamo, Andrie Wongso, James Gwee, Tung Desem Waringin, Anthony Dio Martin, Arvan Pradiansyah, dan sebagainya. Masing-masing membangun brand-nya sendiri, entah sebagai World Marketing Guru, Motivator No.1 Indonesia, Guru Etos Indonesia, Indonesia’s Favorite Trainer, Pelatih Sukses No.1, Pakar Perubahan, dan lain-lain. Wajah, suara, karya tulis mereka terlihat, terdengar, dan terpampang di berbagai media cetak (koran, majalah) maupun elektronik (televisi, radio, handphone, dan internet).
Melihat kiprah nama-nama besar itu dijagat nasional, mulai banyak orang muda yang kepincut untuk bisa mencantumkan namanya sebagai trainer atau pembicara publik tingkat nasional. Penampilan fisik para trainer dan pembicara publik itu umumnya mengesankan bahwa mereka memperoleh imbalan finansial yang tidak kecil atas jasa yang diberikannya. Sebagian orang menjadi sangat yakin bahwa profesi trainer dan pembicara publik telah hadir dan pantas dijadikan cita-cita bagi kaum muda Indonesia. Dengan honor bicara sangat variatif, dari sekadar pengganti uang bensin Rp 500.000,- sampai dengan Rp 70.000.000,- untuk sekali bicara antara 50 menit sampai 8 jam, profesi ini menjadi pantas untuk diperhitungkan.
Sebagai Trainer Coach yang dianggap senior oleh kawan-kawan, saya sering ditanyai orang: sesungguhnya berapa besar sihpotensi penghasilan yang bisa diharapkan oleh seorang trainer atau pembicara publik pemula di Indonesia?; apa benar orang bisa menjadi miliarder dalam waktu relatif singkat melalui profesi ini?; mengapa sejumlah trainer dan pembicara publik yang cukup dikenal, rumah dan mobilnya nggak bagus-bagus amat, sementara yang lainnya benar-benar hidup berkelimpahan nampaknya?
Ketiga pertanyaan tersebut tidak memiliki jawaban yang definitif (pasti). Banyak faktor mesti dikaji dengan teliti untuk mendapatkan jawaban yang akurat. Namun bisa dikatakan bahwa antara trainer pemula dengan trainer madya, dan trainer senior memiliki rentang penghasilan yang sangat lebar. Latar belakang seorang trainer bisa amat menentukan potensi penghasilan yang akan diperolehnya. Mereka yang berlatang belakang akademis akan berbeda dengan mereka yang berlatar belakang sebagai pebisnis atau manajemen puncak perusahaan terkemuka. Mereka yang bermain di sektor privat (perusahaan) akan berbeda pula dengan mereka yang terjun ke sektor publik (media massa, BUMN, pemerintah, dan organisasi politik).
Segala macam perbedaan itu terutama terjadi karena Indonesia memang belum memiliki semacam lembaga yang punya otoritas untuk menetapkan standar honor seorang trainer dan pembicara publik. Atas kenyataan ini ada kawan-kawan yang sedang berjuang untuk membentuk asosiasi pembicara atau asosiasi trainer dan sejenisnya untuk mengatur hal semacam ini dengan meniru apa yang sudah ada di negara lain. Sementara sebagian kawan yang lain berpendapat lembaga semacam ini memang tidak diperlukan dan biarlah pasar saja yang menyeleksinya secara alamiah.
Meski tidak ada patokan baku yang bisa digunakan untuk menentukan kisaran penghasilan seorang trainer pemula, namun secara “sembrono” saya suka mengatakan profesi trainer membuka peluang untuk memiliki penghasilan dalam rentang Rp 70 juta sampai Rp 7 miliar per tahun. Angka ini tidak jauh berbeda dengan profesi lain yang juga baru hadir di Indonesia dalam satu dekade terakhir, yakni: Financial Planner. Sebab sebagian Financial Planner yang saya kenal secara pribadi memainkan peran juga sebagai trainer dalam soal perencanaan keuangan.
Bisakah seseorang menjadi miliarder secara cepat lewat profesi trainer? Ini bergantung pada “seberapa cepat” yang dimaksud. Bila cepat itu diartikan dalam hitungan hari, mungkin tidak masuk akal. Namun jika cepat itu diartikan dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun, secara umum saya asumsikan bisa walau tidak mudah. Yang paling mungkin adalah menjadi miliarder baru dengan menekuni profesi trainer selama kurang lebih 10-15 tahun.
Sependek pengetahuan saya, tidak semua trainer, yang namanya relatif terkenal sekalipun, memiliki penghasilan tahunan sampai 10 digit (miliaran). Sementara gaya hidup mereka pun sangatlah bervariasi. Ada trainer yang cukup kondang namun tidak punya rumah, meski punya uang lebih dari satu miliar di salah satu cabang Bank BCA. Dengan tekad mengumpulkan uang satu miliarnya yang pertama, trainer tersebut untuk sementara waktu memilih tinggal di rumah kontrakkan, dan menggunakan jasa transportasi umum untuk bepergian. Ada juga trainer yang punya rumah dan mobil mewah bahkan sebelum ia menekuni profesi sebagai trainer, sebab ia memiliki bisnis lain.